Selasa, 21 Juli 2009

Tata Laksana Bronkiolitis

BATASAN

Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran nafas kecil (bronkiolus) yang terjadi pada anak <>respiratory sincytial virus (RSV), diikuti dengan parainfluenzae dan adenovirus. Penyakit ditandai oleh sindrom klinik yaitu, napas cepat, retraksi dada dan wheezing.

PATOFISIOLOGI

Mikroorganisme masuk melalui droplet akan mengadakan kolonisasi dan replikasi di mukosa bronkioli terutama pada terminal bronkiolus sehingga akan terjadi kerusakan/nekrosis sel-sel bersilia pada bronkioli. Respon imun tubuh yang terjadi ditandai dengan proliferasi limfosit, sel plasma dan makrofag. Akibat dari proses tersebut akan terjadi edema sub mukosa, kongesti serta penumpukan debris dan mukus (plugging), sehingga akan terjadi penyempitan lumen bronkioli. Penyempitan ini mempunyai distribusi tersebar dengan derajat yang bervariasi (total/sebagian). Gambaran yang terjadi adalah atelektasis yang tersebar dan distensi yang berlebihan (hyperaerated) sehingga dapat terjadi gangguan pertukaran gas serius, gangguan ventilasi/perfusi dengan akibat akan terjadi hipoksemia (PaO2 turun) dan hiperkapnea (Pa CO2 meningkat). Kondisi yang berat dapat terjadi gagal nafas.

DIAGNOSIS

Anamnesis

Anak usia di bawah 2 tahun dengan didahului infeksi saluran nafas akut bagian atas dengan gejala batuk, pilek, biasanya tanpa demam atau hanya subfebris. Sesak nafas makin hebat dengan nafas dangkal dan cepat.

Pemeriksaan fisis

Dapat dijumpai demam, dispne dengan expiratory effort dan retraksi. Nafas cepat dangkal disertai dengan nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut, gelisah. Terdengar ekspirium memanjang atau mengi (wheezing). Pada auskultasi paru dapat terdengar ronki basah halus nyaring pada akhir atau awal inspirasi. Suara perkusi paru hipersonor. Jika obstruksi hebat suara nafas nyaris tidak terdengar, napas cepat dangkal, wheezing berkurang bahkan hilang.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan darah tepi tidak khas. Pada pemeriksaan foto dada AP dan lateral dapat terlihat gambaran hiperinflasi paru (emfisema) dengan diameter anteroposterior membesar pada foto lateral serta dapat terlihat bercak konsolidasi yang tersebar. Analisis gas darah dapat menunjukan hiperkarbia sebagai tanda air trapping, asidosis respiratorik atau metabolik. Bila tersedia, pemeriksaan deteksi cepat dengan antigen RSV dapat dikerjakan.

DIAGNOSIS BANDING

� Asma bronkial

� Aspirasi benda asing

� Bronkopneumonia

� Gagal jantung

� Miokarditis

� Fibrosis Kistik

TATALAKSANA

Tata laksana bronkiolitis yang dianjurkan adalah :

1. Pemberian oksigenasi; dapat diberikan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan bantuan ventilasi mekanik.

2. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan cairan parenteral). Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi.

3. Koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.

4. Antibiotik dapat diberikan pada keadan umum yang kurang baik, curiga infeksi sekunder (pneumonia) atau pada penyakit yang berat.

5. Kortikosteroid : deksametason 0,5 mg/kgBB dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis.

6. Dapat diberikan nebulasi β agonis (salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-6 x/hari) diencerkan dengan salin normal untuk memperbaiki kebersihan mukosilier.

Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan (Lampiran 1).

Beberapa perbedaan antara bronkiolitis dan asma


ASMA

BRONKIOLITIS

Penyebab

hiper reaktivitas bronkus

virus

Umur

> 2 tahun

6 bulan-2 tahun

Sesak berulang

Ya

Tidak

Onset sesak

akut

insidious

ISPA atas

+ / -

selalu +

Atopi keluarga

sering

jarang

Alergi lain

sering

-

Respon bronkodilator

cepat

lambat

Eosinofil

meningkat

normal


Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI)


SKOR

Skor maksimal

0

1

2

3

4

Wheezing :

-Ekspirasi

-Inspirasi

-Lokasi

(-)

(-)

(-)

Akhir

Sebagian

2 dr 4 lap paru


Semua

3 dr 4 lap paru

Semua

4

2

2

Retraksi :

-Supraklavikular

-Interkostal

-Subkostal

(-)

(-)

(-)

Ringan

Ringan

Ringan

Sedang

Sedang

Sedang

Berat

Berat

Berat


3

3

3

TOTAL

17



Jumat, 10 Juli 2009

Penatalaksanaan Demam Tifoid Karier

Berikut ini kami informasikan penatalaksanaan demam tifoid karier terkait dengan produk Amoxicillin dimana terlebih dahulu kami bahas mengenai definisi dari demam tifoid karier.

Kasus demam tifoid sangat dikenal di masyarakat awam namun kebanyakan salah kaprah, mereka lebih mengenal istilah ”gejala tifus” atau ”tipes”. Yang dimaksudkan ”gejala tifus” menurut pandangan orang awam yaitu bila belum sampai sakit tifus betulan. Pengetahuan mereka sangat terbatas dan masih rancu terhadap masalah demam tifoid, apalagi istilah tifoid karier.

Kasus demam tifoid karier merupakan faktor risiko terjadinya outbreak demam tifoid. Sanitasi lingkungan dan sosial ekonomi rendah semakin mempersulit usaha penanggulangannya. Salah satu faktor inilah yang sangat ditakuti wisatawan negara kaya terhadap daerah wisata di daerah negara berkembang termasuk Indonesia, lebih dari 50% kasus tifoid di Amerika Serikat berasal dari warga yang baru berkunjung ke daerah endemik.

Epidemiologi, Insidensi, dan Faktor Risiko Terjadinya Karier

Angka kejadian demam tifoid di Indonesia sebesar 1000/ 100.000 populasi per tahun, insidensi rata-rata 62% di Asia dan 35% di Afrika dengan mortalitas rendah 2-5% dan sekitar 3% menjadi kasus karier. Di antara demam tifoid yang sembuh klinis, pada 20% di antaranya masih ditemukan kuman S.typi setelah 2 bulan dan 10% masih ditemukan pada bulan ke 3 serta 3% masih ditemukan setelah satu tahun. Kasus karier meningkat seiring peningkatan umur dan adanya penyakit kandung empedu. Mathai E, dkk (1995) melaporkan bahwa 18 pasien dengan S.typhi bakteriuria ditemukan 14 kasus dengan infeksi traktus urinarius akibat S.typhi, 3 kasus dengan batu ginjal, satu kasus hipertrofi prostat dan satu kasus tuberkulosis traktus urinarius.

Definisi dan Manifestasi Tifoid Karier

Definisi pengidap tifoid (karier) adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung S.typhi setelah satu tahun pasca-demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Kasus tifoid di mana kumam S. typhi masih dapat ditemukan di feses atau urin selama 2-3 bulan disebut karier pasca-penyembuhan. Tifoid karier tidak menimbulkan gejala klinis (asimtomatik) dan 25% kasus menyangkal adanya riwayat sakit demam tifoid akut. Pada beberapa penelitian dilaporkan pada tifoid karier sering disertai infeksi kronik traktus urinarius serta terdapat peningkatan risiko terjadinya karsinoma kandung empedu, karsinoma kolorektal, karsinoma pankreas, karsinoma paru, dan keganasan di bagian organ atau jaringan lain.

Proses patofisiologis dan patogenesis kasus tifoid karier belum jelas. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap Salmonella typi belum jelas. Imunitas selular diduga punya peran sangat penting. Hal ini dibuktikan bahwa pada penderita sickle cell disease dan sistemic lupus eritematosus (LES) maupun penderita AIDS bila terinfeksi Salmonella maka akan terjadi bakteremia yang berat.

Penatalaksanaan

Terapi Antibiotik pada Kasus Demam Tifoid Karier
Tanpa disertai kasus kolelitiasis
Pilihan regimen terapi selama 3 bulan
1. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kg BB/hari
2. Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kg BB/hari
3. Trimetoprim-sulfametoksazol 2 tablet/2 kali/hari

Disertai kasus kolelitiasis
Kolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari, kesembuhan 80%
atau kolesistektomi + salah satu regimen terapi di bawah ini
1 . Siprofloksasin 750 mg/2 kali/hari
2.. Norfloksasin 400 mg/2 kali/hari

Disertai infeksi Schistosoma haematobium pada traktus urinarius
Pengobatan pada kasus ini harus dilakukan eradikasi S. Haematobium
1. Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau
2. Metrifonat 7,5-10 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2 minggu. Setelah eradikasi S. haematobium tersebut baru diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier seperti di atas.

Langkah-langkah Atasi Flu Babi (Swine Flu)

(29 April 2009).

Direktur WHO atau Organisasi Kesehatan Sedunia, Margaret Chan mengatakan, wabah flu babi di Mexico dan Amerika Serikat berpotensi menjadi pandemi. Menurutnya wabah itu bisa menjadi pandemi karena menyerang manusia. Tetapi masih terlalu dini untuk mengatakan apakah flu babi itu bisa menjadi pandemi.

Ia mengadakan pertemuan darurat dengan para pakar hari Sabtu untuk membahas ancaman itu. Antara lain, para pakar diduga akan menganjurkan apakah WHO harus mengeluarkan peringatan dalam bepergian atau meningkatkan kewaspadaan.

Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, menduga virus itu yang menyebabkan 60 orang meninggal di Meksiko sejak pertengahan bulan Maret. Jurubicara WHO, Fadela Chaib, mengatakan wabah flu pengujung musim yang tidak biasanya, terjadi di Meksiko yang bermula sejak akhir Maret.

Terkait wabah flu babi yang menyebar di Meksiko, Amerika Serikat, dan Selandia Baru, pemerintah menggelar rapat koordinasi lintas sektor di ruang rapat Menko Kesra hari Senin 27 April. Hal itu terkait dengan lintas virus dari hewan ke manusia. Menurutnya, langkah ini merupakan tindakan pencegahan yang dilakukan pemerintah agar virus flu babi ini tidak masuk ke Indonesia dan mengancam penduduk Indonesia.

Depkes Tetapkan Enam Langkah Atasi Flu Babi

Ditjen P2PL melalui surat edaran meminta kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala UPT di lingkungan Ditjen P2PL dan RS Vertikal melalui surat nomor: PM.01.01/D/I.4/1221/2009 untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Mewaspadai kemungkinan masuknya virus tersebut ke wilayah Indonesia dengan meningkatkan kesiapsiagaan di pintu-pintu masuk negara terutama pendatang dari negara-negara yang sedang terjangkit.
  2. Mewaspadai semua kasus dengan gejala mirip influenza (ILI) dan segera menelusuri riwayat kontak dengan binatang (babi)
  3. Meningkatkan kegiatan surveilans terhadap ILI dan pneumonia serta melaporkan kasus dengan kecurigaan ke arah swine flu kepada Posko KLB Direktorat Jenderal PP dan PL dengan nomor telepon: (021) 4257125
  4. Memantau perkembangan kasus secara terus menerus melalui berbagai sarana yang dimungkinkan.
  5. Meningkatkan koordinasi dengan lintas program dan lintas sektor serta menyebarluaskan informasi ke jajaran kesehatan di seluruh Indonesia.
Disadur dari Kalbe.co.id